Seperti telah dikemukakan, kalkulasi biaya produksi pesanan diterapkan untuk produksi dengan spesifikasi khusus sesuai dengan keinginan pemesan. Produksi baru dilakukan setelah pesanan diterima. Tujuan akhir dari kalkulasi biaya produksi pesanan adalah untuk menentukan harga pokok atau biaya produksi untuk setiap pekerjaan pesanan (order kerja) yang ditangani perusahaan.
Setiap pekerjaan pesanan, yang masing-masing memiliki spesifikasi tertentu, dapat dibedakan menurut nama langganan, jenis atau ukuran dari barang yang diproduksi. Untuk menentukan biaya atau harga pokok produksi dari pesanan yang dikerjakan, untuk setiap pekerjaan pesanan disediakan catatan biaya yang terpisah dalam Kartu Harga Pokok Pekerjaan Pesanan. Setiap elemen biaya manufaktur, bahan langsung, tenaga kerja langsung dan overhead pabrik yang berhubungan dengan pekerjaan pesanan diakumulasikan secara terpisah dalam kartu harga pokok tersebut.
Kumpulan kartu harga pokok pekerjaan pesanan ini pada hakekatnya menupakan buku tambahan dari perkiraan Persediaan Barang Dalam Penyelesaian dalam buku besar. Jumlah saldo-saldo yang terdapat dalam kartu harga pokok pada suatu saat tertentu harus sama dengan saldo perkiraan Persediaan Barang Dalam Penyelesaian pada saat yang sama. Setiap ayat jurnal yang dicatat dalam perkiraan Persediaan Barang Dalam Penyelesaian didukung oleh pencatatan yang dilakukan secara terinci dalam kartu-kartu harga pokok.
Sutan Sjahrir adalah tokoh yang giat melakukan kritik terhadap Kabinet Presidensial. Hal ini dilakukan
karena kabinet tersebut terdiri dari anggotanya yang berkolabolator dengan Jepang. Situasi ini pula yang menyebabkan Sekutu enggan untuk melakukan perundingan dengan pemerintah Indonesia. Adapun kritik yang dilancarkan Sjahrir lebih menekankan agar sistem kekuasaan di Indonesia tidak terpusat hanya pada satu titik saja, melainkan tersebar secara merata. Usulan ini pada akhirnya mampu membuat pemerintah Indonesia melalui Maklumat Wakil Presiden pada tanggal 16 Oktober 1945 yang berisi pengalihan fungsi KNIP menjadi sebuah badan legislatif dan rakyat diperbolehkan untuk mendirikan partai. Dengan dikeluarkannya maklumat ini pula dibentuk Kabinet Sjahrir dan dimulainya penyelesaian melalui perundingan. Melalui kabinet ini juga perjuangan untuk mendapatkan pengakuan internasional dimulai.
Pada masa perjuangan kemerdekaan 1945-1949 tugas utama kementerian luar negeri sejalan dengan tuntutan perjuangan, yaitu pengakuan internasional terhadap pengakuan kemerdekaan Indonesia. Hanya saja, upaya Indonesia untuk mendapatkan pengakuan dunia internasional mendapatkan hambatan yang dilakukan oleh Belanda.
Belanda masih tidak mau menganggap kedaulatan RI sebagai negara merdeka. Perhatian internasional mulai meningkat setelah terjadinya Perundingan Linggajati (10 November 1946) yang hasilnya ditandatangani pada 25 Maret 1947. Dari Perundingan Linggajati ini Belanda mengakui secara de facto kekuasaan RI, namun masalah hubungan internasional RI tetap berada di tangan Belanda. Hal ini menyebabkan buntunya hasil perundingan tersebut.
Upaya pemerintah Indonesia untuk mendapat pengakuan internasional terus diupayakan, hingga mendapat simpati dan pengakuan intemasional, salah satunya datang dari India. Hubungan Indonesia dengan India sudah terjalin ketika RI mengirimkan 7.000 ton beras ke India pada April 1946. Bantuan ini membuat para pemimpin India, terutama Nehru menaruh simpati terhadap cita-cita kemerdekaan Indonesia.Perhatian ini diwujudkan dengan menempatkan perwakilannya di Indonesia. Hal ini semakin
memudahkan bangsa Indonesia di kancah dunia internasional. Hubungan dengan India diperkuat kembali melalui Konferensi New Delhi (Inter-Asian Relations Conference) pada bulan Maret-April 1947 Hubungan dengan India terus dilakukan. Salah seorang wakil konsul India di Jakarta membuka kantornya di Yogyakarta. Dari konsul India ini, pemerintah Indonesia terbantu untuk mengadakan kontak dengan perwakilan-perwakilannya di luar negeri. Sebagian besar hubungan ini terjadi melalui perwakilan India di Jakarta yang diteruskan ke New Delhi, Karachi, Birma, Sailan (Sri Lanka), serta dunia Arab.
Adapun hubungan RI dengan Timur Tengah sudah terjadi sejak awal proklamasi khususnya di Kairo, Mesir. Mahasiswa Indonesia yang belajar di Kairo pada Oktober 1945 berhasil mendorong dibentuknya Lajnatud Dita'in Indonesia (Panitia Komite Pembela Indonesia) di kalangan simpatisan Mesir, termasuk politisi Partai Wafd, partai besar yang berkuasa untuk memberikan dukungan terhadap kemerdekaan RI.
Pada 21 November 1946, Dewan Komisaris Liga Muslim mengadakan rapat di Kairo dan menasihati anggota-anggotanya untuk mendukung dan mengakui RI sebagai negara yang merdeka. Pernyataan ini sempat ditentang oleh duta besar Belanda di Kairo, namun pemerintah Mesir tetap pada pendiriannya. Tindak lanjut dari dukungan Timur Tengah terhadap RI adalah dengan berkunjungnya diplomat Mesir Abdul Moen im ke RI pada Maret 1947. Kedatangan diplomat Mesir ini dibalas oleh pemerintah RI dengan berkunjung ke Mesir dengan menyesuaikan jadwal Konferensi Inter-Asia di New Delhi pada Maret-April 1947. Hubungan ini pada akhirnya mampu membuat pemerintah Mesir mengakui RI sebagai negara merdeka dan berdaulat secara de jure pada 9 Juni 1947.
Pada bulan November 1947, Arab Saudi memberikan pengakuan bagi RI. Hal ini disebabkan kunjungan Azzam Pasha dan H.M. Rasyidi kepada Raja lbnu Saud. Selain itu, pengakuan ini juga dikarenakan dunia Arab memiliki semangat nasionalis dan anti-Barat yang sama dengan Indonesia dan ikatan persaudaraan muslim yang kuat. Sejak paruh kedua tahun 1947, RI telah mendapatkan pengakuan dejure dari negara Timur Tengah seperti Mesir, Syria, Irak, Afghanistan, Arab Saudi, dan Libanon, serta pengakuan de facto dari negara Asia, seperti India,Pakistan, Birma, dan Sailan (Sri Lanka).
Pengakuan dari dunia Barat datang dari Australia. Pengakuan ini diwujudkan dengan memberi tempat bagi berdirinya Perwakilan Republik Indonesia di bawah Oesman Sastroamidjojo. Selain itu bentuk dukungan Australia terlihat dari usahanya melakukan pendekatan dengan Dewan Keamanan di New York.Usaha ini membuahkan hasil dengan diundangnya para wakil Indonesia untuk membicarakan permasalahan Indonesia di forum internasional pada tanggal 14 Agustus 1947. Perwakilan yang datang pada saat itu adalah Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, L.N. Palar, Dr. Soemitro Djojohadikusumo, Soedjatmoko, dan Charles Tambu. Sejak itu perwakilan Indonesia semakin mampu mengembangkan hubungan diplomasi dengan negara lain. Berikut ini perwakilan Indonesia di luar negeri (1947/1948).
🙏Thank you For Reading
🌺Hopefully Useful
Tidak ada komentar:
Posting Komentar